Klarifikasi Rakaat Solat Tarawih

Klarifikasi Rakaat Sholat Tarawih

Dan Rakaat yang Tak Terbatasi

A. Prolog

Sekedar untuk saling mengingatkan, barangkali diantara kita ada yang telah lupa dalil-dalil (tendensi) yang menjadi pijakan bermacam-macamnya rakaat solat Tarawih. Dengan harapan, ketika kita telah mengetahui dalilnya secara jelas, maka kita pun akan dapat menjalankan ibadah Tarawih dengan penuh kemantapan dan tidak mudah meyalahkan komunitas lain yang melaksanakan Tarawih dengan rakaat yang berbeda dengan kita. Sebab, kita telah mengetahui bahwa apa yang mereka lakukan juga memiliki pijakan yang dapat dipertanggung jawabkan.

Jika ditelusuri melalui hadits-hadits Rasul shollallahu ‘alaihi wasallam ataupun literatur kitab-kitab fikih, maka kita akan menemukan bahwa solat Tarawih diantaranya dikerjakan dengan:

1. 20 rakaat diikuti solat Witir 3 rakaat=23 rakaat.

2. 8 rakaat rakaat diikuti solat Witir 3 rakaat=11 rakaat.

3. 36 rakaat diikuti solat Witir 3 rakaat=39 rakaat.

4.  40 rakaat diikuti solat Witir 7 rakaat=47 rakaat

5. 38 rakaat.

6. 13 rakat.

7. 41 rakaat.

No. 1. adalah yang biasa dikerjakan oleh mayoritas Bangsa Indonesia.

No. 2. menempati posisi kedua setelah mayoritas Bangsa Indonesia.

No. 3. adalah yang pernah dikerjakan oleh penduduk Madinah.

No. 4, 5, 6 dan 7 akan kita bicarakan nanti.

Dan tentunya masing-masing memiliki argumen yang  menjadi pijakanya. Sehingga, bagi insan yang berpendidikan tidak seyogyanya meributkan perbedaan tersebut. Karena kerukunan hukumnya adalah wajib sedang solat Tarawih hanya sekedar sunnah. Tentu sangatlah bodoh jika mengorbankan yang wajib untuk meributkan yang sunnah. Persatuan lebih diutamakan!

Disini saya akan lebih banyak mengutip hadits Nabi dan pendapat para ulama serta menyebutkan sumber referensi yang menjadi rujukanya. Karena tujuan saya adalah, agar para pembaca dapat merujuknya sendiri kedalam sumbernya secara langsung. Biar lebih puas tentunya!. Toh demikan, di akhir pembahasan nanti saya akan berusaha mengutarakan wacana saya terkait beraneka ragamnya bilangan rakaat solat Tarawih ini. Dan tentunya ini hanya sekedar wacana yang tidak perlu diterima!.

B. Macam-Macam Bilangan Solat Tarawih

1. 23 Rakaat.

 Rincianya: 20 rakaatnya adalah solat tarawih dan 3 rakaatnya adalah solat Witir. Tarawih yang dikerjakan dengan 20 rakaat ditambah 3 rakaat solat Witir ini memiliki pijakan cukup kuat yang diantaranya adalah: hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik bin Anas dalam kitab Muwatha’-nya:

عن مالك عَنْ يَزِيدَ بْنِ رُومَانَ أَنَّهُ قَالَ: «كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً» 

“Dari Malik dari Yazîd bin Rûmân dia berkata; “Dahulu, pada masa Umar bin al Kaththab, manusia menjalankan dengan 23 rakaat di malam bulan Ramadhan.” [1]

Maksud dari 23 rakaat dalam hadits tersebut adalah: 20 rakaatnya adalah solat Tarawih dan 3 rakaatnya adalah solat Witir.[2] Sebagaimana juga dikatakan dalam riwayat berikut:

 َرَوَى مُحَمَّدُ بْنُ نَصْرٍ مِنْ طَرِيقِ عَطَاءٍ قَالَ: « أَدْرَكْتُهُمْ فِي رَمَضَانَ يُصَلُّونَ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَثَلَاثَ رَكَعَاتِ الْوِتْرَ»

 

“Muhammad bin Nashr meriwayatkan dari Atha’, dia  (Atha’) berkata; “Aku menjumpai mereka pada bulan Ramadhan, mereka shalat  20 rakaat dan witir 3 rakaat.”[3]  

Dalam riwayat Muhammad ibn Nashir ini jelas bahwa solat Tarawih terdiri dari 20 rakaat kemudian diikuti 3 rakaat solat Witir.

Imam Ibnu Hajar al Asqalani dalam kitab Fathul Bari-nya juga mengatakan:

«رَوَى مَالِكٌ مِنْ طَرِيقِ يَزِيدَ بْنِ خُصَيْفَةَ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ عِشْرِينَ رَكْعَةً. وَهَذَا مَحْمُولٌ عَلَى غَيْرِ الْوِتْرِ » 

 “Malik meriwatkan dari Yazid bin Khushaifah dari al Sa’ib bin Yazid: sebanyak 2o rakaat selain witir[4]

«رَوَاهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يُوسُفَ فَقَالَ إِحْدَى وَعِشْرِينَ» 

 “Abdur Razaq meriwayatkanya… dari Muhammad bin Yusuf, dia mengatakan; “21 rakaat.”

Maksud dari 21 rakaat adalah: 20 rakaatnya adalah solat Tarawih dan 1 rakaatnya adalah solat Witir. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar al Asqalani.[5]

Dalam kitab Fiqh as Sunnah karya Sayyid Sabiq juga dikatakan:

 «وصح أن الناس كانوا يصلون على عهد عمر وعثمان وعلي عشرين ركعة، وهو رأي جمهور الفقهاء من الحنفية والحنابلة وداود،

قال الترمذي: وأكثر أهل العلم على ما روي عن عمر وعلي وغيرهما من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم عشرين ركعة، وهو قول الثوري وابن المبارك والشافعي، وقال: هكذا أدركت الناس بمكة يصلون عشرين ركعة»  

 “Dan telah shahih, bahwa manusia shalat pada masa Umar, Utsman, dan Ali sebanyak 20 rakaat, dan itulah pendapat jumhur (mayoritas) ahli fiqih dari kalangan Hanafi, Hambali, dan Daud. Berkata At Tirmidzi: ‘Kebanyakan ulama berpendapat seperti yang diriwayatkan dari Umar dan Ali dan selain keduanya dari kalangan sahabat nabi, yakni sebanyak 20 rakaat. Itulah pendapat Ats Tsauri, Ibnul Mubarak. Berkata Asy Syafi’i: “Demikianlah, aku melihat manusia di Mekkah mereka shalat 20 rakaat.” [6]

 

Al Imam Al Hafidz Ibnu Abd al Bar juga mengatakan:

 

«وَذَكَرَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ دَاوُدَ بْنِ قَيْسٍ وَغَيْرِهِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يُوسُفَ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ جَمَعَ النَّاسَ فِي رَمَضَانَ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ وَتَمِيمٍ الدَّارِيِّ عَلَى إِحْدَى وَعِشْرِينَ» 

 

Dan Abdur Razaq menuturkan dari Dawud bin Qais dan lainya, dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid bahwa Umar bin Khaththab mengumpulkan manusia di bulan Ramadhan kepada Ubay bin Ka’b dan Tamim al Dariy, diatas 21 (rakaat).” [7]

Maksudnya sama dengan diatas bahwa 20 rakaatnya adalah Tarawih dan 1 rakaatnya adalah Witir. 

 

وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ الْعُلَمَاءِ وَبِهِ قَالَ الْكُوفِيُّونَ وَالشَّافِعِيُّ وَأَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ. وَهُوَ الصَّحِيحُ عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ (مِنْ غَيْرِ خِلَافٍ مِنَ الصَّحَابَةِ . وَقَالَ عَطَاءٌ أَدْرَكْتُ النَّاسَ وَهُمْ يُصَلُّونَ ثَلَاثًا وَعِشْرِينَ رَكْعَةً بِالْوِتْر

 

“Itu (20 rakaat) adalah pendapatnya mayoritas ulama. Sebagaimana dikatakan pula oleh ulama Kufah, asy Syafi’i dan mayoritas ahli fikih. Dan itu adalah yang sahih dari Ubay bin Ka’b (tanpa ada perbedaan diantara para sahabat). Dan Atha’ mengatakan “Saya menjupai manusia, mereka solat 23 rakaat dengan Witir.” [8] 

 

رَوَى أَبُو شَيْبَةَ …عن الحكم عن بن عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ كَانَ يُصَلِّي فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَالْوِتْر

 

“Abu Syaibah meriwayatkan dari al Hakam dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shollahu alaihi wasallam melaksanakan solat di bulan Ramadhan 20 rakaat dan Witirَ”. [9] 

Sekedar untuk catatan: hadits ini dinilai lemah oleh Ibnu Hajar al Asqalani dalam Fathul Bari-nya. [10]

Sebenarnya masih banyak dalil-dalil yang lain yang saya kira tak perlu saya paparkan keseluruhanya disini. Semisal yang dikatakan oleh Syaikh Ibrahim al Bajury bahwa yang utama adalah yang 20 rakaat, karena itul adalah yang berasal dari Nabi shollallahu alaihi wa sallam. Karena Nabi juga melaksanakan dengan 20 rakaat. Yakni 8 rakaat di masjid dengan berjamaah kemudian menyempurnakanya menjadi 20 rakaat di rumah. Begitupun para Sahabat.[11] Jadi, untuk selanjutnya–jika kurang puas—silahkan dirujuk sendiri ke dalam sumber referensi yang saya cantumkan.

___________________________________________ 

[1] Malik bin Anas, Al Muwatha’, Dar al Hadits, Kairo, hal.106.

Lihat juga: Ibnu Abd al Bar, Al Istidzkâr, Dar al Kutub al Alamiyah, Bairut, jilid 2, hlm. 69

[2] Sulaiman bin Khalaf al Baji, Al Muntaqa Syarkh al Muawatha’, Madba’ah as Sa’adah, Mesir, cet. I, 1332 H, jilid 1, hlm. 209.

[3] Ahmad ibn Ali ibn Hajar al Asqalani, Fathul Bari, Darul Ma’rifah, Bairut, jilid  4, hlm.253.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, Dar al Kitab al Arabi, Bairut, cet. Ke 3,  jilid 1, hlm. 206.

[7] Ibnu Abd al Bar, Al Istidzkâr, Dar al Kutub al Alamiyah, Bairut, jilid 2, hlm. 69

[8] Ibid, hlm. 70

[9] Ibid, hlm. 69.

[10] Ahmad ibn Ali ibn Hajar al Asqalani, Fathul Bari, Dar al Ma’rifah, Bairut, jilid  4, hlm.254.

[11] Ibrahim al Baijuri. Hasyiyah Ibrahim al Baijuri, Dar al  Fikr, jilid 1, hlm. 203

____________________________________________________

2. 11 rakaat.

 

Rincianya: 8 rakaat adalah solat Tarawih dan 3 rakaanya adalah solat Witir. Solat Tarawih yang dilakukan dengan 8 rakaat diikuti 3 rakaat solat Witir ini juga memiliki lanndasan yang cukup kuat. Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukari:

 عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ؟ فَقَالَتْ: «مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً .

 

“Dari Abi Salamah bin Abdurrahman, ia bertanya kepada Aisyah RA, “Bagaimana sholat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam di bulan Ramadhan?. Aisyah menjawab; “Beliau tidak pernah menambah di dalam ramadhan dan di selain Ramadhan dari 11 rakaat”. (HR. al-Bukhari, hadits no: 2013).

Hadits tersebut senada dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab Muwatha’-nya:

 عن مَالِكٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يُوسُفَ عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّهُ قَالَ أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيمًا الدَّارِيَّ أَنْ يَقُومَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً.

 

“Dari Malik dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid ia berkata bahwa Umar bin Khatthab memerintahkan Ubay bin Ka’b dan Tamim al Dariy untuk mendirikan (solat) bersama manusia sebanyak 11 rakaat.”[1]

Maksud dari 11 rakaat dalam kedua hadits tersebut adalah: 8 rakaat adalah solat Tarawih dan 3 rakaatnya adalah solat Witir. Sebagaimana yang dijelaskan dalam riwayat Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dalam kedua kitab shahih mereka, Abu Ya’la, al Thabrani yang dilansir dalam kitab Fiqh as Sunnah karya Sayyid Sabiq.[2]

Jika dicermati dengan seksama, di sini kita sedang dihadapkan dengan dua hadits yang sama-sama diriwayatkan oleh Imam Malik nampak saling bertolak belakang. Yang pertama, riwayat Imam Malik dari Yazid bin Ruman mengatakan bahwa manusia di masa Khalifah Umar melaksanakan Tarawih 23 rakaat. Yang kedua, riwayat Imam Malik dari Sa’ib bin Yazid justru mengatakan bahwa Khalifah Umar memerintahkan Ubay bin Ka’b untuk mendirikan solat bersama manusia sebanyak 11 rakaat.

Sepintas, kedua riwayat Imam Malik tersebut nampak paradoks, namun sebenarnya jika ditelisik lebih dalam tidak ada paradoks sama sekali. Sebab—sebagaimana dijelaskan ulama–memang terdapat dua tahap yang berbeda dalam pelaksanaan solat Tarawih di masa Khalifa Umar RA.

Tahap pertama:  Dilaksanakan sebanyak 11 rakaat tetapi dengan bacaan yang panjang sehingga para manusia pun merasa berat karena harus berdiri lama untuk sekedar mendengarkan bacaan Imam yang panjang. Dan ini adalah yang dijelaskan oleh riwayat Imam Malik dari Saib bin Yazid.

Tahap kedua: Karena ketika dilaksanakan sebanyak 11 rakaat dengan bacaan yang panjang manusia merasa berat, karena harus berdiri lama untuk mendengarkan bacaan panjang sang Imam, maka diambilah inisiatif untuk menambah rakaatnya menjadi 23 rakaat tetapi dengan bacaan yang pendek (sebentar). Dan ini adalah yang dijelaskan oleh riwayat Imam Malik dari Yazid bin Ruman.[3]

Sebagaimana juga yang dikatakan Syaikh Zarqânî:

 وذكر ابن حبان أن التراويح كانت أولا إحدى عشرة ركعة، وكانوا يطيلون القراءة فثقل عليهم فخففوا القراءة وزادوا في عدد الركعات فكانوا يصلون عشرين ركعة…غير الوتر بقراءة متوسطة،

“Ibnu Hibban menuturkan bahwa solat Tarawih pada awal mulanya adalah 11 rakaat. Dan mereka memanjangkan bacaan sehingga terasa berat bagi mereka. Kemudian mereka meringankan (memendekan) bacaan dan menambah jumlah rakaatnya, maka mereka pun sola 20 rakaat selain Witir dengan bacaan yang sederhana.“[4]

Sebagaimana juga biasa kita saksikan di Indonesia. Biasanya yang melaksanakan sebanyak 11 rakaat sang imam cenderung memanjangkan bacaan al Qur’anya, dan yang melaksanakan sebanyak 23 rakaat biasanya mecukupkan dengan bacaan surat-surat al Qur’anya yang pendek. Sehingga, waktu lama mereka mengerjakan solat Tarawih pun hampir sama. Bahkan kadang yang 23 rakaat selesai terlebih dahulu.

___________________________________

[1] Malik bin Anas, Al Muwatha’, Dar al Hadits, Kairo, hal.106.

[2] Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, Dar al Kitab al Arabi, Bairut, cet. Ke 3,  jilid 1, hlm. 206.

[3] Abu al Hasan Ali bin Khalaf bin Abd al Malik Ibnu Bathal, Syarkh Shohih Bukhari Ibnu Bathal, Dar al Nasyr, Riyadh, cet. Ke 2, jilid 4, hlm. 148.

[4] Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, Dar al Kitab al Arabi, Bairut, cet. Ke 3,  jilid 1, hlm. 206.

_________________________________________________

3. 39 Rakaat.

 

Rincianya: 36 rakaat adalah solat Tarawih dan 3 rakaatnya adalah solat witir. Dalil-dalil yang menjelaskan eksistensi bilangan tersebut diantaranya sebagaimana berikut:

وَرَوَى مُحَمَّدُ بْنُ نَصْرٍ مِنْ طَرِيقِ دَاوُدَ بْنِ قَيْسٍ قَالَ أَدْرَكْتُ النَّاسَ فِي إِمَارَةِ أَبَانَ بْنِ عُثْمَانَ وَعُمْرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ يَعْنِي بِالْمَدِينَةِ يَقُومُونَ بِسِتٍّ وَثَلَاثِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُونَ بِثَلَاثٍ

 

“Muhammad bin Nashr meriwayatkan dari Dawud bin Qais, dia mengatakan; “Saya menjumpai manusia pada masa kekuasaan Aban bin Ustman dan Umar bin Abdul Aziz , yakni di Madianah, mereka melaksanakanya dengan 36 rakaat dan Witir 3 rakaat.” [1]

Sebagaimana juga dikatakan oleh Imam Syafi’i:

 

رَأَيْتُ النَّاسَ يَقُومُونَ بِالْمَدِينَةِ بِتِسْعٍ وَثَلَاثِينَ وَبِمَكَّةَ بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ وَلَيْسَ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ ضِيقٌ وَعَنْهُ قَالَ إِنْ أَطَالُوا الْقِيَامَ وَأَقَلُّوا السُّجُودَ فَحَسَنٌ وَإِنْ أَكْثَرُوا السُّجُودَ وَأَخَفُّوا الْقِرَاءَةَ فَحَسَنٌ . 

 “Saya melihat manusia di Madinah (melaksanakan) sebanyak 39 (rakaat) dan di Makah sebanyak 23 (rakaat). Dan  tidak ada dalam permasalahan itu suatu ksempitan.  “Beliau juga mengatakan; “Apabila mereka melamakan berdirinya (dengan membaca bacaan yang panjang) dan menyedikitkan sujudnya (menyedikikan rakaanya) maka itu baik. Dan apabila memperbanyak sujudnya (rakaatnyat) dan meringankan bacaanya itu juga baik. [2]

Dari penjelasan singkat diatas nampak jelas bahwa Tarawih dengan 39 rakaat adalah nyata eksistensinya dan diakui sebagai hal yang baik oleh Imam Syafi’i. Pertanyaanya, mengapa sampai 39 rakaat?. Untuk menjawabnya, saya akan berusaha menampilkan  beberapa pandangan ulama mengapa penduduk Madinah mengerjakan sampai  39 rakaat.

Pendapat Pertama. Para penduduk Makah, di setiap mereka telah menyelesaikan solat Tarawih sebanyak 4 rakaat, maka mereka beristirahat. Dan mereka mengisi istirahat tersebut denga thawaf (mengelilingi ka’bah). Berarti, dari total 20 rakaat solat Tarawih yang mereka kerjakan ada sebanyak 4 kali istirahat dan 4 kali thawaf. Lha,,,,karena di Madinah tidak ditemukan Ka’bah yang bisa mereka pergunakan untuk thawaf di sela-sela istirahat di setiap setelah mengerjakan 4 rakaat, maka mereka pun  mengganti setiap satu thawafan yang dilakukan penduduk Makah dengan solat 4 rakaat. Karena total thawaf yang dikerjakan adalah 4 kali maka secara keseluruhan mereka mengerjakan solat sebagai pengganti thawaf sebanyak 16 rakaat. Sehingga, yang tadinya Tarawih hanya 20 rakaat pun sekarang menjadi 36 rakaat. [3]

Pendapat Kedua. Pada awal mulanya mereka mengerjakan dengan 23 rakaat dan dengan bacaan yang panjang, sehingga mereka pun mau tidak mau harus rela berdiri yang lama. Tapi ketika mereka merasa berat karena harus berdiri lama, maka mereka pun mengambil inisiatif untuk menambah rakaatnya menjadi 39 akan tetapi dengan mengurangi terhadap bacaan yang lama menjadi sebentar (baca-pendek). Munkin karena mereka lebih merasa ringan mengerjakan dengan 39 rakaat daripada 23 rakaat tetapi dengan berdiri yang lama. [4]

4. 47 Rakaat dan 38 Rakaat.

 

وَقد نقل بن عَبْدِ الْبَرِّ عَنِ الْأَسْوَدِ بْنِ يَزِيدَ تُصَلَّى أَرْبَعِينَ وَيُوتِرُ بِسَبْعٍ وَقِيلَ ثَمَانٍ وَثَلَاثِينَ ذَكَرَهُ مُحَمَّد بن نصر عَن بن أَيْمَنَ عَنْ مَالِكٍ

“Ibnu Abd al Bar mengutip dari al Aswad bin Yazid bahwa solat (Tarawih) dilaksanakan dengan 40 rakaat diikuti Witir 7 rakaat. Dan dikatakan pula, 38 rakaat sebagaimana dituturkan oleh Muhammad bin Nashr ibn Aiman dari Malik” [5]

5. 13 Rakaat dan 41 Rakaat.

 

وَرَوَاهُ مُحَمَّدُ بْنُ نَصْرٍ الْمَرْوَزِيُّ مِنْ طَرِيقِ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يُوسُفَ فَقَالَ ثَلَاثَ عَشْرَةَ.

 

“Dan Muhammad bin Nashr al marwaziy meriwayatkan dari Muhammad bin Ishaq dari Muhammad bin Yusuf, dia mengatakan 13 rakaat”

 

“Dan al Tirmidhi mengatakan “kebanyakan dikatakan; dilaksanakan dengan 41 rakaat, yakni dengan Witir” [6] 

C. Catatan Singkat Penulis.

Wacana penulis, solat Tarawih itu tidak terbatas rokaatnya. Dia bisa dikerjakan dengan rakaat berapa pun jumlahnya: 11 rakaat, 13 rakaat, 23 rakaat, 39 rakaat atau bahkan samapi 100 rakaat dan menghabiskan waktu semalam suntuk. Karena—sependek pemahaman penulis—Rasulullah shollallahu ‘alihi wasallam tidak memberikan batasan pasti seberapa banyak rakaat solat Tarawih harus dikerjakan. Bahkan yang Beliau katakan adalah:

 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ»

“Dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah shollallahu ‘alihi wasallam bersabda; “Barang siapa yang berdiri (beribadah) pada malam bulan Ramamadhan karena iman dan ikhlash karena Allah  maka dia diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Muslim, no. 759)

Menurut Imam Nawawi maksud dari, “berdiri (beribadah) pada malam bulan Ramamadhan” adalah solat Tarawih. [7]

Dalam hadits tersebut Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam hendak mengajarkan kepada umatnya dengan cara yang bijaksana. Beliau tidak memaksa untuk melaksanakan ibadah tertentu juga tidak memberi batasan seberapa banyak rakaat solat Tarawih yang harus dikerjakan. Bahkan yang ditekankan beliau adalah beribadah dengan penuh keimanan dan keikhlasan kepada Tuhan (îmânan wa ihtisâban). Seberapa pun banyaknya rakaat yang dikerjakan namun jika tidak disertai dengan keimanan dan keikhlasan maka itu akan sia-sia blaka. Dari sini munculah pemahaman penulis bahwa solat Tarawih bisa dikerjakan dengan  berapa pun rokaatnya, asalkan tetap dikerjakan dengan “îmânan” dan ihtisâban”. Karena itulah intinya.

Adapau hadits Aisyah:

عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ؟ فَقَالَتْ: «مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً .

 

“Dari Abi Salamah bin Abdurrahman, ia bertanya kepada Aisyah RA, “Bagaimana sholat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam di bulan Ramadhan?. Aisyah menjawab; “Beliau tidak pernah menambah di dalam ramadhan dan di selain Ramadhan dari 11 rakaat”. (HR. al-Bukhari, hadits no: 2013).

Menurut penulis tidak dapat dipahami bahwa hadits tersebut membatasi solat Tarawih dengan 11 rakaat. Karena—sebatas pemahaman saya—dalam hadits tersebut Sayyidah Aisyah  hanya sekedar memkhabarkan bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam selalu melaksanakannya dengan 11 rakaat, namun, untuk batas maksimalnya sama sekali beliau tidak menentukanya.

Ibaratnya, semisal katakanlah Anda menjadi seorang kiai ataupun ustadz. Kemudian Anda selalu makan sehari dua kali, tentu maksudnya bukan berarti Anda membatasi agar orang lain juga makan hanya dua kali dalam sehari, bukan?. Itu hanya kebiasaan Anda saja. Saya tidak bermaksud menyamakan antara ibadah Tarawih dengan makan, tetapi tujuan saya adalah agar maksud saya dapat dicerna dengan sempurna.

Begitu pun dalam hadits tersebut, Sayidah Aisyah hanya mengkhabarkan jumlah rakaat yang selalu  dijalankan oleh Nabi shollallahu alaihi wasallam. Namun itu bukan berati memberikan batasan sebanyak 11 rakaat. Bahkan untuk batas maksimalnya beliau tidak menentukanya. Karena yang terpenting adalah beribadah di malam bulan Ramadhan dengan “îmanan wa ihtisâban”, ntah itu 11 rakaat ataupun 23 rakaat. Barangkali maksud beliau adalah agar umatnya dapat menjalankan sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing.

Terlebih lagi, ketika kita menengok kedalam usul fiqh. Disana dijelaskan bahwa tidak semua ungkapan memiliki makna kebalikan. Dan contoh dari kaidah ini pun banyak kita jumpai dalam al Qur’an. Tapi saya ingin menyodorkan contoh dari saya sendiri saja yang menurut saya mudah dicerna. Semisal saya katakan “Nabi Muhammad yang dari Arab”, apakah berarti memiliki makna kebalikan: ada Nabi Muhammad selain yang dari Arab? Tentu tidak. Semisal juga saya katakan “Firaun Mesir” tentu ungkapan ini tidak memiliki makna kebalikan Firaun selain Mesir karena Firaun hanya ada di Mesir. Begitu pun—barangkali–dengan hadits Aisyah diatas.

Walaupun rakaatnya tidak terbatasi, menurut penulis, yang utama adalah mengikuti yang banyak disepakati oleh mayoritas. Tujuanya jelas demi terwujudnya persatuan diantara umat Islam. Hal tersebut setidaknya telah tercermin dalam upaya Khalifah Umar ketika beliau mengumpulkan manusia dibawah satu imam yaitu Ubay bin Ka’b—yang saya kira—tujuanya adalah persatuan.[8] Sekiranya persatuan lebih penting dari pada sekedar meributkan perkara sunnah yang masih menjadi perbedaan pendapat diantara ulama. Yang terakhir, SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA. Wallahu a’lam bishshawâb.

___________________________________________________________________

 [1] Ahmad ibn Ali ibn Hajar al Asqalani, Fathul Bari, Darul Ma’rifah, Bairut, jilid  4, hlm.253.

[2] Ibid.

[3] Ibrahim al Baijuri. Hasyiyah Ibrahim al Bajuri, Dar al  Fikr, jilid 1, hlm. 203

[4] Abu al Hasan Ali bin Khalaf bin Abd al Malik Ibnu Bathal, Syarkh Shohih Bukhari Ibnu Bathal, Dar al Nasyr, Riyadh, cet. Ke 2, jilid 4, hlm. 148.

[5]  Ahmad ibn Ali ibn Hajar al Asqalani, Fathul Bari, Darul Ma’rifah, Bairut, jilid  4, hlm.253.

[6] Ibid.

[7] Hadist shohih  riwayat Imam Bukhari dari Ibn Syihab, hadits no. 2010.

[8]  Abu Zakariya Muhyiddin  bin Syaraf al nawawiy, al Minhaj Syarkh Shohih Muslim, Dar Ihya’ al Turats al Arabiy, Bairut, cet. Ke 2, jilid 6, hlm 39.

_______________________________________________

Daftar Pustaka

1. Shohih Bukhari.

2. Shohih Muslim.

3. Al Muwatha’, Malik bin Anas.

4. Fathul Bari.

5. Fiqh al Sunnah.

6. Al Istidzkar.

7. Hasyiah asy Syaikh Ibrahim al Baijuri.

8. Al Minhaj Syark Shohih Muslim.

9. Syarkh Shohih Bukhari Ibnu Bathal.

10. Al Muntaqa Syarhk al Muwatha.

oleh Senopati Gerlang Amrullah pada 31 Juli 2011 jam 13:35

Satu respons untuk “Klarifikasi Rakaat Solat Tarawih

Tinggalkan komentar